Jumat, 04 Juli 2008

PILKADA TELADAN, MENDAMBA FIGUR “IPK” TINGGI


Tulisan ini terasa patut dikemukakan dan menjadi perhatian sungguh-sungguh sekaligus sebagai dambaan kita semua mengingat, Pertama: Tinggal hitungan minggu di Negeri Serumpun Sebalai yang kita cintai, tapatnya di Kota Pangkalpinang yang dalam banyak aspek menjadi barometer awal citra Babel secara umum, lalu Kabupaten Bangka dan Kabupaten Belitung, akan berlangsung hajatan demokrasi Pilkada. Pilkada di Babel akan menjadi momentum pertaruhan sebagai ujian, masihkah Babel dapat dikenal dan dikenang sebagai negeri yang aman, damai dan tentram, yang dengan keberagaman suku, ras dan agama masyarakatnya dapat hidup membaur dengan kebersamaan, kekeluargaan dan penuh toleransi ?Menjadi pertaruhan masihkah Babel dapat dikenal dan dikenang sebagai daerah tempat berlindung pada saat hampir di semua daerah terjadi kerusuhan dan mencekam ?. Masihkah Babel menjadi daerah pilihan terakhir yang ideal sebagai tempat berlindung dihari tua sampai akhir menutup mata ?. Sehingga mengantarkan Pilkada di Babel dapat menjadi teladan bagi daerah lain, walaupun tentunya untuk keteladanan tidak hanya diukur dari penyelenggaraan Pilkada yang damai.
Kedua: Semangat keteladan yang begitu menggelora di dada para pelopor lahirnya Propinsi Serumpun Sebalai dan segenap masyarakat pada saat awal-awal berdirinya Babel, tentu masih terngiang-ngiang di telinga kita semua dan harus jujur kita akui bahwa sampai saat ini belum mampu kita wujudkan dalam banyak aspek kehidupan. Tidak berlebihan rasanya bila kita berharap nantinya Pilkada dapat menjadi salah satu “asset keteladanan” atau terwujud menjadi salah satu aspek yang membuat kita penuh percaya diri menepuk dada tatkala bertemu dengan saudara-saudara yang dari Maluku Utara, Sulawesi Selatan dan sebagainya.
Ketiga: Menyimak fenomena Pilkada di berbagai daerah beberapa waktu terakhir, khususnya yang paling anyar di Kota Depok, Propinsi Maluku Utara, Sulawesi Selatan dan Kabupaten Purwakarta, miris hati kita. Emosi politik yang meluap berlebihan dari masa pendukung calon cederung membawa konplik yang krusial dan ujungnya anarkis. Pilkada yang idealitanya adalah sarana politik sebagai tonggak awal memacu percepatan kemajuan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat, realitanya hanya menjadi ajang mainan baru elit politik yang memakan ongkos politik, ongkos sosial dan ongkos ekonomi terlalu mahal sehingga justeru menjadi titik balik perkembangan daerah Kekanak-kanakan, amoralis politik, kecurangan dalam pendaftaran pemilih, kecurangan dalam perhitungan suara, ketidaktahuan atau perbedaan dalam memahami dan menyikapi peraturan perundangan dan ketidaklegowoan dalam menerima hasil pilkada, merupakan hal-hal yang terkadang berakumulasi menyebabkan permasalahan seakan membentur tembok. Celakanya, apabila masalah sudah memuncak, calon menyembunyikan diri dan berlagak pilon, seakan tidak pernah terlibat, apalagi mau bertanggung jawab dan menggalangkan badan demi perdamaian dan ketenangan massa. Dan yang lebih merisaukan, seakan tidak ada lagi tempat kemana berlari dan dengan siapa harus mengadu sebagai garansi mutlak keluar dari persoalan, apabila kapabilitas, profesionalisme dan independensi KPUD dan KPU tidak mampu meyakinkan masyarakat. Lebih-lebih lagi apabila ketinggian derajat PT atau keagungan lembaga hukum MA, yang putusannya bersifat final dan mengikat, sudah tidak mampu memberikan logika dan keadilan hukum serta rasa keadilan sosial bagi masyarakat luas.
Padahal hampir setiap Pilkada melahirkan ketidakpuasan yang berujung pada pengajuan keberatan atas hasil Pilkada ke pengadilan mulai dari PT, MA bahkan MK, walaupun hampir semua juga ditolak karena alasan yang sebenarnya jauh dari essensi yang diatur dalam hukum formil dan hukum material Pilkada itu sendiri. Dalam sebuah seminar CSIS bertajuk “Pilkada, Masalah dan Prospek” terungkap dari Pilkada di 173 daerah, hampir setengahnya mengajukan gugatan.

Mungkinkah Babel Damai
Kita boleh saja yakin Babel bukan daerah rawan konplik dan menganggap tidak ada kultur anarkis. Tetapi kita tidak boleh lupa, justeru karena itulah pengrusakan kantor Gubernur yang tidak disangka-sangka terjadi begitu tiba-tiba, sangat cepat dan tak terjegahkan karena tidak diantisipasi sebelumnya, siapa menyangka akan ada pembakaran pemukiman pekerja TI apung bahkan dengan segala perangkat-perangkatnya beberapa waktu lalu. Siapa yang bisa menjamin akan tetap aman dan terkendali atau siapa yang akan menjamin bahwa semua tindakan massa tidak akan keluar dari skenario dan tidak akan ada tindakan spontan dan tidak akan ada penyusupan, di tengah-tengah kerumunan massa yang sedang memuncak ketidak puasannya, apalagi tatkala berhadap-hadapan antar kelompok yang kontra. Untuk itu kita semua, lebih-lebih pemangku kepentingan Pilkada, harus tetap waspada terhadap hal-hal yang berpotensi membawa konplik.
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) mengidentifikasi lima sumber konplik yang potensial sehingga harus diwaspadai selama berlangsungnya Pilkada. Pertama, sumber konplik itu terkait masalah etnik dan agama. Konplik seperti ini dapat muncul terutama di wilayah yang sebelumnya telah terjadi ketegangan etnis atau agama, seperti Kalimantan, Sulawesi dan Maluku dan daerah-daerah lain yang proporsi penduduknya secara etnik atau agama berimbang. Di Babel tidak seperti Kalimantan, Sulawesi dan Maluku yang mempunyai riwayat konplik sangat serius, tetapi kalau dilihat dari keberimbangan etnik dan agama, maka Babel boleh dikatakan agak berimbang karena walaupun etnis Melayu dan Agama Islam masih mayoritas tetapi yang lainnya relatif sama porsinya.
Kedua, mobilisasi politik atas nama daerah (putra daerah asli atau pendatang) yang seperti ini berpotensi hampir di semua daerah, termasuk Babel. Di awal otonomi dan terbentuknya Propinsi dan Daerah-daerah Pemekaran di Babel nuansa putra asli daerah (PAD) dan nonPAD begitu kental dan seperti menjadi tuntutan masyarakat yang begitu mengemuka terhadap pengisian posisi-posisi yang dinilai cukup strategis. Strategis dalam hal ini biasanya dilihat dari tupoksi jabatan atau institusi yang banyak berkaitan dengan pengotak-atikan Aparatur dan atau yang sifatnya dapat menjadi pundi-pundi daerah maupun individu oknum alias yang lebih dikenal dengan tempat “basah”, tapi bukan PDAM.
Ketiga, sumber konplik berikutnya adalah premanisme politik dan pemaksaan kehendak, dimana gejala ini begitu mudah kita saksikan pada era proses pembelajaran berdemokrasi yang seperti masih mencar-cari bentuk atau era otonomi yang kebablasan sekarang ini. Di Babel gejala ini sudah sering muncul, walaupun tingkat premanisme dan pemaksaannya boleh dikatakan belum begitu serius.
Keempat, konplik serupa juga dapat terjadi setelah Pilkada, khususnya bagi kandidat yang kalah karena tidak siap menerima kekalahan yang kemudian memprovokasi massa pendukung. Konplik ini juga bisa bersumber dari kampanye negatif antar calon kepala daerah. Dua kali pemilihan Gubernur Babel memberi pelajaran bagi kita bahwa walaupun ada yang kampanye rada negatif, bahkan ada selebaran “catatan dosa” yang sampai sekarang masih bermasalah dan ada juga pro kontra hasil perhitungan dan pendaftaran calon yang bahkan sampai pada gugatan ke pengadilan, tetapi Babel, dalam hal ini calon Gubernur dan para pendukungnya masih menunjukkan sikap elegant, sehingga tidak menimbulkan konplik yang krusial dengan melibatkan pengerahan-pengerahan masa secara brutal. Contoh ini kita harapkan menjadi pelajaran berharga dalam proses berdemokrasi yang baik dan benar di Bumi Serumpun Sebalai yang kita cintai.
Kelima adalah konplik yang bersumber dari manipulasi perhitungan suara dan terakhir adalah konplik yang bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main yakni UU N0 32/2004 dan PP N0. 6/2005. Manipulasi lain perlu juga diwaspadai karena sebenarnya dapat terjadi pada tahap lebih awal sejak pendaftaran calon pemilih, namun yang seperti ini gampang ketahuan apabila masyarakat jeli memperhatikan dan mengikuti tahapan-tahapan Pilkada minimal sejak pengumuman daftar sementara calon pemilih dan perlu sosialisasi aturan main secara intensif dan luas.
Dengan demikian Potensial konplik di Babel bila dilihat secara kualitatif dengan tingkatan rendah, sedang dan tinggi, maka boleh dikatakan pada level rendah sampai sedang. Namun demikian tetap harus dikelola dengan sebaik-baiknya antara lain agar pemangku kepentingan (stakeholder) Pilkada, khususnya KPUD, Panwas, Elit Parpol, dan Kandidat betul-betul berusaha memahami dan memberi paham kepada masyarakat seluas-luasnya serta menjunjung tinggi aturan main. Antar pemangku kepentingan, perlu mempunyai kesamaan pemahaman dan penafsiran aturan-aturan umum sampai pada hal-hal yang bersifat lebih teknis, lalu duduk bersama dan membuat konsensus untuk konsekuen dan konsisten mewujudkan Pilkada yang damai dan jujur. Tidak kalah pentingnya agar Elit Parpol dan Kandidat atau bahkan semua pihak, khususnya kalangan masyarakat terdidik dapat memberikan pembelajaran politik kepada konstituen dan massa pendukung atau masyarakat luas dengan prinsip-prinsip taat azas dan integritas moral yang tinggi dalam berdemokrasi. Hanya dengan seperti inilah Pilkada di Babel bukan saja dimungkinkan tapi dapat dipastikan akan berlangsung dengan damai. Tetapi pertanyaan berikutnya, cukupkah hanya dengan damai ?
Pilihan Cerdas “IPK” Tinggi
Masih bisa diperdebatkan apa yang dimaksud dan apa indikator Pilkada dapat diteladani ?. Namun yang jelas idealnya tidak cukup hanya berlangsung dengan damai melainkan sampai pada kematangan masyarakat menentukan pilihan calon yang tepat, yang terbaik diantara yang baik atau yang memiliki “IPK”, yaitu: Indeks Prestasi Kumulatif yang terdiri dari unsur-unsur; Integritas pribadi, Pendidikan dan pengalaman serta Kepedulian sosial tertinggi. Disinilah makin pentingnya pembelajaran politik yang komplit dengan prinsip-prinsip demokrasi yang baik dan benar.
Unsur-unsur I, P dan K tersebut harus menjadi perhatian, pertimbangan dan alat ukur Elit-ellit Parpol dan Kandidat sendiri mulai dari tahap penjaringan, pendaftaran sampai pada penetapan calon dan bagi masyarakat pemilih semuanya, sampai pada menentukan pilihan. Mengapa “IPK” begitu penting ?. Menjadi Kepala Daerah memerlukan mentalitas, akhlaq dan moral yang kuat, tinggi dan terpuji, tahan uji, konsekuen dan konsisten. Ini tidak gampang dan dalam banyak kasus kita justeru krisis kepemimpinan dalam hal integritas pribadi. Apalagi di dunia politik yang semua dapat berubah dengan sangat gampang hanya dalam hitungan detik, lawan dan kawan terkadang tidak jelas sama halnya tidak jelas antara taktik atau munafik.
Mencari pemimpin yang berpendidikan formal memadai, tidak sulit saat ini dan sudah lumrah menjadi pertimbangan penting sama halnya dengan pengalaman. Namun pengalaman perlu dirinci secara lebih detail mulai dengan pengalaman di bidang pemerintahan, yang seyogianya memperoleh bobot lebih tinggi, karena menjadi Kepala Daerah bukan untuk coba-coba dan tidak mempunyai waktu panjang untuk beradaptasi, mencari pengalaman dan belajar memimpin. Oleh karena itu pengalaman dalam hal ini, minimal pengalaman memimpin dalam suatu lembaga setingkat Kabupaten/Kota.
Kepedulian sosial seorang pemimpin level apapun amat penting dipertimbangkan, mengingat ada orang banyak yang dihadapi yang harus dipedulikan dengan penuh ketulusan. Dalam konteks Kepala Daerah yang dipimpin adalah rakyat yang terdiri dari masyarakat dimana sebagian besarnya berada pada kelompok menengah bawah. Dan perlu diingat, jangan terkecoh dengan tampilan figur dalam 1 sampai 3 bulan menjelang Pilkada saja, karena itu sama dengan masa pacaran yang semuanya bagus-bagus, manis-manis, tapi tidak jarang bukan watak aslinya.
Oleh karena itu, untuk menentukan pilihan yang tepat secara lebih obyektif, kumpulkan data dan informasi secara lengkap dan akurat tentang track record setiap calon dalam berbagai sisi kehidupannya bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan unsur-unsur “IPK” di atas. Lalu beri nilai masing-masing unsur dengan terlebih dahulu beri bobot. Bobot dilihat bukan hanya dari tingkat kepentingannya, tetapi juga dari tingkat kesulitan dalam pemenuhannya, sehingga I dapat diberi bobot = 5, P = 3 dan K = 2. Apabila masing-masing nilai dikali bobot didapatlah skor masing-masing unsur, lalu dijumlah, maka dapatlah jumlah skor total atau nilai “IPK”. Siapa figur yang mempunyai “IPK” tertinggi itulah yang dipilih.
Menghitung “IPK” bukan hanya bagi pemilih, tetapi Elit-elit Parpol dan yang akan dipilihpun harus menghitung-hitung juga berapa “IPK” yang dimiliki, sehingga ada ukuran diri untuk tau diri. Dan kalau merasa “IPK” yang dimiliki rendah jangan terlalu memaksakan diri umpama dengan mengajukan calon harus dari internal partai atau memaksakan diri harus maju dan sebagainya. Dan terpenting harus jiwa besar, terhadap apapun yang terjadi, kalau ada figur lain yang jelas-jelas “IPK” tinggi.
Pada kahirnya ingin saya tegaskan, bahwa tulisan ini tidak mempunyai pretensi apa-apa, selain sebagai bagian dari proses pembelajaran politik khususnya dan berdemokrasi pada umumnya yang bermuara pada terselenggaranya Pilkada di Babel secara aman, damai dan jujur serta melahirkan Kepala Daerah yang terbaik. Dan pada akhirnya Pilkada di Babel dapat menjadi teladan berdemokrasi bagi daerah lain, sebagai bagian integral dengan semangat kita menjadikan Kepulauan Bangka Belitung, Negeri Serumpum Sebalai sebagai propinsi teladan. Amin Ya Rabbal Alamin.

Oleh: Sarbini
o Mantan Ketua Umum HMI Cabang Palembang
o Mahasiswa Pasca Sarjana MPWK UNDIP

Catatan: Dimuat di harian pagi “Babelpos” edisi 3 dan 4 Juli 2007

Tidak ada komentar: